Minggu, 19 Agustus 2007

tentang irian jaya

Kesenian rakyat Irian Jaya pada umumnya tumbuh dan berkembang sejalan dengan adat istiadat serta peradaban mereka, yang didasari oleh kehidupan dan kepercayaan. Peranan kesenian bagi masyarakat Irian Jaya di samping sebagai hiburan juga berfungsi sebagai unsur mempertebal keyakinan dan menegakkan semangat kerja, perang, dan sebagainya. Di bidang seni tari, maka tarian di Irian Jaya pada umumnya merupakan tarian upacara yang dianggap keramat dan tidak boleh ditarikan di sembarang tempat dan sembarang waktu. Menurut fungsinya, tari-tarian di Irian Jaya dibedakan ke dalam tiga bagian yaitu tarian upacara, tarian bergembira atau pergaulan, dan tari-tarian tontonan. Tarian upacara biasanya ditarikan pada upacara kelahiran, inisiasi dan masa kanak-kanak ke masa dewasa. Upacara perkawinan, upacara kematian, tarian penyembuhan orang sakit, tari penyembahan arwah nenek moyang dan tarian ritual lainnya. Sedangkan tarian bergembira atau pergaulan misalnya tari Mapia, tari Gale-gale, tari Yasin, dan tari Pancar. Tarian khusus untuk ditonton muncul sejak tahun 1970, setelah putera dan puteri yang tinggal di kota-kota menyadari pentingnya mengadakan seni tari yang bukan hanya untuk tujuan-tujuan agama dan upacara adat. Kemudian diciptakan tarian drama tari atau sendratari. Tari-tarian tersebut antara lain Tewadar, Maususu, Pulae, Cenderawasih, tari Yape dan lain-lain yang merupakan tari kreasi baru.
Dalam seni suara, perkembangannya lebih merata karena setiap kegiatan masyarakat baik kelompok maupun perorangan seni suara tak pernah ketinggalan. Seni suara memegang peranan penting dan mempunyai fungsi yang luas sebagai penerus kelangsungan tradisi, media kritik dan nasehat, media penambahan semangat, sumber hiburan dan sebagainya. Alat musik tradisional antara lain tifa atau gendang, seruling bambu, pikon yaitu alat yang terbuat dari bilah bambu, dan kombo bambu.
Berkembangnya kepercayaan animisme dan dinamisme sangat mempengaruhi seni rupa masyarakat Irian Jaya. Hal ini terlihat pada patung-patung dan motif ukiran yang dipahatkan selalu berhubungan dengan pemujaan terhadap roh nenek moyang dan selalu dimintai pertolongannya.
Pada suku Asmat seni patungnya sangat terkenal baik berukuran besar maupun kecil. Patung berukuran besar disebut mbis, sedang patung berukuran kecil disebut kawenak. Di daerah Waigeo dan Biak dikenal patung-patung kuburan yang disebut Korwar. Demikian seni ukir selain berfungsi sebagai hiasan juga berfungsi simbolis untuk mengundang kekuatan tertentu yang dibutuhkan. Ukiran-ukiran tersebut umunnya sebagai lambang kehadiran roh nenek moyang, lambang kekuatan hidup, rasa tanggung jawab balasan dari orang yang hidup terhadap yang sudah meninggal, juga sebagai lambang kesuburan.
Seni bangunan di Irian Jaya pada umumnya adalah bangunan rumah yang dipergunakan sebagai tempat tinggal di mana masing-masing suku mempunyai nama atau istilah sendiri, misalnya Rumbekwan, Rumsram, Sarmu, Taro, Samarai dan lain-lain. Bangunan yang didirikan untuk tujuan-tujuan lain tidak banyak dikenal, keculai Yen di Asmat yaitu rumah untuk laki-laki dan bangunan Kariwari yaitu bangunan untuk menyembah roh nenek moyang di daerah Sentani.

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu:Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.
Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.
Penduduk pesisir pantai; Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.
Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.
Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).
Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga

Tidak ada komentar: